Pengucapan Syukur dari Tradisi "Foso Rumages" ke Tradisi Kristen
Nasi jaha menjadi salah satu menu andalan saat menyambut pengucapan syukur.(foto istimewa)
Catatan: Donald Taliwongso (dikutip dari berbagai sumber)
PARA LELUHUR bangsa Minahasa telah menanamkan nilai-nilai kebaikan kepada keturunannya agar selalu bersyukur atas berkat yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa (Opo Empung Wailan Wangko)
Ungkapan syukur itu dimanifestasi lewat cara yang sakral yakni "foso rumages". "Bahasa tua" orang Minahasa ini memiliki arti Ritual Persembahan. Foso artinya ritual, sedangkan Rumages asal kata dari Rages yang artinya persembahan.
Cara itu telah menjadi tradisi turun temurun. Tradisi "foso rumages um banua" (ritual persembahan ucapan syukur) merupakan suatu ungkapan keutuhan, ketulusan hati sekaligus ungkapan rasa syukur kepada Opo Empung Wailan Wangko dan Opo Wananatas (leluhur).
Dalam tradisi "foso rumages um banua" semua masyarakat merayakannya. Ada yang bernyanyi, menari dan memasak. Semua itu dilakukan sebagai wujud syukur kepada Opo Empung Wailan Wangko dan Opo Wananatas
Dalam tradisi "foso rumages um banua" ada yang "rerumetaan" (persembahan untuk Tuhan) dan "ja se weteng" (persembahan untuk leluhur). Masyarakat menyiapkan hasil panen terbaik. Biasanya padi terbaik, dimasak dalam bambu (bulu) dan dikhususkan untuk Opo Empung Wailan Wangko dan sebagian lagi untuk Weteng sebagai wujud penghormatan.
Begitu juga dengan raragesan. Persembahan dalam bentuk hewan ini harus yang terbaik. Biasanya rages ayam. Puncak ritualnya dilakukan sebelum matahari terbit. Ini menandakan semangat baru di hari yang baru.
Saat pagi, mereka akan membukanya dengan mengundang warga di luar wanua atau roong (desa). Atau warga yang kebetulan lewat. Ini wujud kasih dan kebersamaan sesama ciptaan Tuhan. Dari sinilah tradisi saling mengunjungi dimulai.
Seiring waktu, tradisi "foso rumages" mulai hilang ketika masuknya pengaruh Barat di tanah Minahasa. Penginjil Graafland mentrasformasi tradisi rumages ke tradisi Kristen. Ritual-ritual persembahan pada Opo Wananatas (leluhur) dianggap bertentangan dengan ajaran agama Kristen.
Tradisi foso rumages semakim ditinggalkan menyusul banyak penduduk Minahasa penganut kepercayaan Shamanisme berpindah kepercayaan ke agama Kristen.
1800-an ketika sudah ada gereja, umat mulai diarahkan membawa persembahan ke gereja sebagai wujud ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas hasil panen terbaik. Masyarakat beribadah dan berdoa. Tradisi itu terus dipelihara sampai saat ini.
Jika ditarik jauh kebelakang, tradisi "foso rumages" sebenarnya suatu ritual atau tradisi agraris. Tapi ketika pengaruh Barat masuk, tradisi ini digeser menjadi tradisi Kristen. Kini, organisasi gereja dan pemerintah daerah ikut ambil bagian menentukan kapan pengucapan syukur itu boleh dilakukan.
Meski kebanyakan daerah di Minahasa tak ada lagi panen pertama hasil pertanian, namun di desa-desa pengucapan syukur tetap dirayakan. Begitu juga di Kota Manado, ibu Kota Provinsi Sulawesi Utara itu baru mulai menggelar pengucapan syukur pada tahun 2017.
Bahkan di era modern ini, pengucapan syukur bisa dirayakan di luar daerah. Warga Kawanua di Jakarta selama dua hari (20 sampai 21 Juli) merayakan tradisi itu.
Aneka hiburan dan kegiatan disajikan untuk merekatkan sesama warga Kawanua yang tidak sempat pulang kampung.
Di Kabupaten Minahasa, pengucapan syukur diawali dengan beribadah di gereja. Di kampung-kampung tertentu, tradisi membawa persembahan ke gereja dari hasil panen terbaik masih dilakukan sampai saat ini.
Usai ibadah di gereha, biasanya jemaat siap-siap menerima tamu di rumah. Tamu akan dijamu dengan berbagai menu makanan khas Minahasa. Tapi paling sering disajikan adalah nasi jaha. Kuliner satu ini jadi menu andalan setiap ada pengucapan syukur. Kemudian bada dodol.
Untuk pencinta makanan ekstrem biasanya tuan rumah menyiapkannya. Ada kelelawar, ular piton, tikus hutan, katak, beragam burung liar, babi hutan dan banyak lagi. Kebanyakan dimasak dalam bambu (bulu) dengan cara di bakar.
Menu wajib lainnya di pengucapan syukur adalah babi bulu, babi kecap, tinoransak, dan aneka olahan daging babi lainnya. Ada juga Rintek Wuuk atau RW. Menu ekstrem ini jadi idola para pencinta daging anjing.
Di kampung-kampung di Minahasa, RW akan terasa nikmat jika disajikan bersama sayur pait (daun pepaya) yang dimasak dalam bambu dicampur bersama rempah-rempah lalu dibakar.
Dalam tradisi pengucapan syukur di Minahasa biasanya juga masyarakat ikut menikmati minuman khas Cap Tikus, lalu bernyanyi dan berdansa. Dahulu, minuman Cap Tikus biasa dipakai dalam ritual "foso rumages".
Keunikan lain dari tradisi pengucapan syukur yakni "babungkus". Meski tak wajib, namun biasanya tuan rumah akan menyiapkan aneka makanan lalu dibungkus dan diberikan kepada tamu untuk bawa pulang.
Kebiasaan itu oleh kebanyakan masyarakat Minahasa percaya bahwa dengan berbagi berkat kepada sesama, panen tahun berikutnya hasilnya akan baik.
Memang pengucapan syukur ini identik dengan ekspresi karena di berkati. Wujud rasa syukur itu, diungkapkan dengan permberian terbaik berupa persembahan bagi Tuhan.
Lepas dari tradisi-tradisi yang ditinggalkan, pengucapan syukur ini mau menegaskan bahwa, sejak zama dulu para leluhur Minahasa sangat menyatu dengan Tuhan dan menyatu dengan alam.(**)
0 Komentar
Add Comment